ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Dalam
mengatasi teror bom di Sarinah Thamrin (Jakarta Pusat), pertengahan
Januari2016u, publik bertanya-tanya, mengapa pasukan anti-teror Kopassus tidak
tampak di lokasi? Pertanyaan yang sama juga muncul dalam pelaksanaan Operasi
Tinombala, sebuah operasi pengejaran kelompok teroris pimpinan Santoso di Poso
(Sulawesi Tengah).
Pertanyaan
publik ini justru menjadi pertanda bahwa satuan anti-teror Kopassus demikian
populer di mata masyarakat, dengan begitu sangat diharapkan kehadirannya, di
tengah ancaman teror yang seolah tiada henti ini.
Perlu
ada klarifikasi soal peran dan fungsi satuan anti-teror Kopassus ini, yang nama
resminya Satuan Penanggulangan Teror 81 (Satgultor 81) Kopassus. Kata kunci
Satgultor 81 adalah strategis terpilih, artinya yang menjadi sasaran penindakan
Satgultor 81 adalah obyek atau kasus yang masuk kategori strategis terpilih.
Peristiwa teror bom di Thamrin dan pengejaran kelompok Santoso, belum lagi
masuk kategori strategis terpilih.
Apa
yang dimaksud sebagai strategis terpilih, bisa dijelaskan dengan merujuk pada
operasi atau simulasi yang pernah dilakukan Satgultor, seperti pembajakan
pesawat terbang (ingat Operasi Woyla), pembebasan sandera pada obyek vital
(kedutaan besar misalnya), pembajakan di gedung tinggi, dan seterusnya.
Kualifikasi tinggi, unit kecil, durasi
singkat
Kualifikasi
personel Satgultor 81 secara umum lebih tinggi dari satuan sejenis (primus
inter pares), dan paling lama didirikan (tahun 1981). Oleh karenanya personel
Satgultor baru diturunkan, bila ancaman itu bersifat kompleks dengan skala
kesulitan terbilang tinggi.
Dan
satu lagi yang harus diingat, palagan yang disediakan bagi Satgultor ada pada
ruang yang terbatas (seperti pesawat terbang dan gedung), dan biasanya di
perkotaan, bukan pertempuran konvensional di dataran luas atau rimba raya. Itu
sebabnya model operasi penindakan dari Satgultor 81 (juga satuan anti-teror
lainnya), memiliki istilah teknis Pertempuran Jarak Dekat (PJD, Close
Quarters Battle)
Apa
yang kita lihat dalam Operasi Tinombala, itu sudah lebih dari sekedar operasi
anti-teror, sehingga kurang tepat pula bila personel Satgultor diturunkan.
Operasi di Poso lebih tepat disebut sebagai operasi lawan gerilya (counter
insurgency), dilihat dari segi jumlah personel yang diturunkan dan lamanya
waktu operasi.
Satgultor
dilatih untuk bergerak dalam unit kecil, dengan durasi sangat cepat, bukan lagi
dalam hitungan jam, tapi menit. Sementara operasi di Poso, jumlah personelnya
yang diturunkan mencapai ribuan, palagannya luas dan berbulan-bulan di lokasi.
Satuan
seperti Densus 88 atau Brimob Polri masih bisa melaksanakan operasi lawan
gerilya, karena jumlah personelnya relatif besar, di mana setiap Polda memiliki
satuan Densus 88. Terlebih Brimob, yang salah satu tugas pokoknya memang
operasi lawan gerilya. Sementara “karakter” Satgultor bukan untuk operasi
semacam itu.
Bila
Kopassus pada akhirnya mendapat tugas operasi lawan gerilya, bukan Satgultor
yang dikirimkan, namun satuan lainnya seperti Grup 1 dan Grup 2 (kualifikasi
para komando), atau Grup 3 (Sandi Yudha, operasi senyap).
Mutlak diperlukan sinergi
Bagi
negeri kita, begitu krusialnya ancaman teroris atau teror itu, satuan
anti-teror juga dikembangkan di angkatan lain. Seperti Detasemen Jala Mangkara
(Denjaka Korps Marinir), Komando Pasukan Katak TNI-AL, Detasemen Bravo 90
Paskhas TNI-AU, Satuan Gegana (Brimob Polri), dan Densus 88 (Polri).
Beberapa
perwira yang pernah bertugas lama di satuan anti-teror sependapat, dalam
mengukur tingkat keandalan sebuah satuan anti teror, jangan dilihat satuan itu
berada di bawah marinir, polisi atau tentara. Namun dilihat bagaimana
intensitas pelatihannya, perencanaan, peralatan, rasa percaya diri, dan
responsif saat eksekusi di lapangan. Oleh karenanya mutlak adanya sinergi antar
satuan anti-teror, baik di bawah TNI atau Polri.
Arti
penting sinergi dan koordinasi antar satuan kini semakin terasa, mengingat
adanya “metamorfosa” dalam aksi teror: dari teroris (sekelompok manusia)
menjadi ledakan bom (benda).
Menganal
Sebagaimana diketahui unit anti-teror di negeri kita, umumnya dilatih untuk
menghadapi aksi teror sekelompok orang, seperti pembajakan pesawat terbang atau
penyanderaan di gedung bertingkat. Bila yang dihadapi adalah bom (termasuk bom
bunuh diri), perlu ada metode dan kurikulum pelatihan tersendiri.
Dirgahayu
Kopassus.
Penulis:
Aris
Santoso dikenal sejak lama sebagai pengamat TNI (khususnya Angkatan Darat),
biasa menulis masalah kemiliteran di media cetak dan online. Kini bekerja
sebagai staf administrasi di lembaga yang bergerak di bidang HAM (KontraS).
sumber
0 Response to "Mengenal Satgultor 81, Pasukan Siluman Kopassus Berkualifikasi Spesial!"
Posting Komentar